Saat membicarakan aksi gerakan untuk perubahan sosial, umumnya, penyebutan kelompok gerakan dalam isu anak selalu terbelakang. Setahu saya, sampai degan saat ini, belum ada intelektual yang secara tekun mengelompokan aksi gerakan dalam isu anak ini kedalam kekuatan yang mempunyai pengaruh untuk perubahan. Padahal, (dalam hal ini, karena aktivitas saya banyak terlibat langsung dalam aksi gerakan yang mengusung isu anak, maka saya bisa melihat dampak langsung betapa) kelompok gerakan ini memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi perubahan sosial. Baik, mungkin sampai di sini kita harus mulai mendiskusikan mengapa sih pentingnya mengakui kelompok gerakan yang mengusung isu anak wajib dimasukan dalam kelompok gerakan untuk perubahan sosial.
Mencari letak kelompok gerakan isu anak dalam gerakan sosial di Indonesia
Gerakan politik kiri, gerakan buruh, gerakan demokrasi, kelompok hak-hak sipil-politik-ekonomi, gerakan perempuan, LGBT, Agraria maupun sumberdaya alam dll selalu menjadi topic panas untuk diperbincangkan. Mereka semua sangat dekat dengan pengorganisasian masa, aksi masa dan bahkan untuk menekan kekuasaan Negara. Baru-baru ini bahkan, bukunya Max Lane, Unfinished Nation, yang mencengangkan itu, terkait document sejarah aksi pelopor reformasi, telah menarik banyak perhatian. Di buku itu, Lane dengan sangat detail menorehkan catatan-catatan aksi masa pelopor yang berkontribusi dalam gelora reformasi sampai pada suksesnya menggulingkan rezim Suharto, Orde Baru. Meski uraianya sangatlah padat, namun, lagi-lagi, buku ini absen menyebut adanya gerakan isu anak yang terlibat. Sungguh sayang, padahal dia juga menyinggung beberapa geneologi gerakan aktivis di Indonesia, hampir dalam semua isu.
Dalam salah satu bab di bukunya Max Lane itu, bibit-bibit gerakan reformasi total salah satunya dipupuk ketika para aktivis 80an melakukan advokasi masyarakat akibat program pembangunan waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah. Sedikitnya ada 5268 kepala keluarga terusir dari tanah dan rumah mereka. Mereka dipaksa pergi oleh serdadu Suharto, meski dengan ganti rugi yang tak layak. Sumber di Wikipedia.org menyebut bahwa ganti rugi resmi yang harus dibayar oleh pemerintah adalah Rp 3.000/m2—namun rakyat dipaksa menerima Rp 250/m2. Akibatnya, sedikitnya 600 kepala keluarga bertahan. Dan terror bertubi-tubi pun terjadi.
Pembelaan-pembelaan terhadap rakyat tertindas ini bermunculan. Yang tercatat dengan jelas, muncul gerakan yang mengangkat isu anak berada pada front terdepan. Beberapa pelopornya seperti Romo Mangun, Romo Sandyawan dan KH. Hammam Ja’far—mereka mendampingi masyarakat yang masih bertahan dan memberikan langkah nyata dengan menyediakan sekolah-sekolah bagi sedikitnya 3500 anak di sana. Salah satu aktivis yang terlibat dalam isu anak waktu itu adalah Yayak Kencrit. Dalam beberapa kesempatan saya sering menanyakan maksud keterlibatanya dalam pemilihan isu anak waktu itu. Menurutnya, setidak-tidaknya ada dua hal yang ingin disasar.
Tujuan pertama adalah untuk menyamarkan gerakan supaya lebih bebas untuk bisa melakukan pemetaan situasi—lalu selanjutnya memberikan langkah-langkah penguatan bagi rakyat yang ada di sana. Karena waktu itu, isu anak merupakan bagian terlunak dan hampir bebas dari saringan represi para serdadu Orba. Dengan berdalih memberikan pendidikan (sekolah) pada anak-anak ini, di lain sisi, aktivis dalam isu anak bisa leluasa untuk mengumpulkan informasi dan memetakan permasalahan. Lalu mereka kemudian menggandeng para aktivis dari berbagai isu, missal agraria, perempuan, hak sipil-politik, hak ekonomi dll. Tujuan kedua adalah, melakukan semangat pembebasan (bagi kaum tertindas)—terutama ditujukan atau dimulai dari seorang ketika masa kanak-kanak.[1] Angapan ini, menurutnya, adalah hasil dari refleksi dari buruknya sistim pendidikan formal (sekolah) yang dianggap hanya akan mencetak anak-anak bermental pengikut/pencari kerja, lengah pada situasi sekitar mereka, memunculkan budaya bisu untuk menyikapi permasalahan sosial dll.
Tak hanya itu, kelompok gerakan dalam isu anak di Indonesia juga aktif dalam mendorong reformasi ditingkat kebijakan. Misalkan kelompok gerakan anti perdagangan anak (yang menghasilkan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang), gerakan anti pronografi dan esploitasi seksual anak (mendorong pemerintah telah meratifikasi protokol tambahan Konvensi Hak Anak tentang Perdagangan anak, Prostitusi anak dan Pornografi anak) dll.
Jika kita meminjam konsep dari David Aberle, maka, kategori kelompok gerakan yang setidak-tidaknya berorientasi pada perubahan norma—sedikitnya hukum, maka, kelompok ini termasuk dari gerakan sosial dalam ruang lingkup reformis. Lalu, jika kita tau, atau, harus mengakui bahwa kelompok gerakan dalam isu anak adalah bagian dari gerakan sosial, lalu, apa pentingya?……… berlanjut ke….
Mencipta semangat perubahan, bukan berlandaskan rasa kasihan
[1] Di era itu, pengaruh pemikir dari Amerika Latin, missal Paulo Freire—yang thesis utamanya adalah dimana situasi sosial terdiri dari dua kubu penindas-tertindas, sangat kental. Tradisi pemikiran ini akhirnya menuntun sebuah langkah mendesak yaitu jalan pembebasan bagi kaum tertindas.
Jakarta, 26 Juli 2015
Bagus Yaugo Wicaksono
Sumber gambar: dpp-garda.blogspot.com