‘Kita akan tandingi mereka’…
‘Bukan, kalahkan!‘… ‘
Kalahkan?….’ …..
‘……[m]aka kita akan belajar, Tanca. Kemudian kita akan tahu lebih banyak, mengalahkan dengan gemilang‘….
‘Kalau kau menang, kau akan jadi raja, Temu?’.
Potongan perbincangan dua bocah di atas, diambil dari kisah ‘Arok-Dedes‘, bukunya Pramoedya Ananta Toer (Pram). Temu, digambarkan Pram, adalah sosok bocah penuh semangat. Matanya menyorot. Ingatanya tajam. Cara pikirnya, sama liarnya dengan harimau lapar. Bocah ini, Temu, mengkoordinir anak lain sebayanya mbegal upeti yang akan di kirim ke istana raja.
Pikirnya, upeti itu didapat dari merampok hak rakyat– apa salah rakyat menggarongnya? Logika sederhana ini yang mendorongnya. Namun, kecuali kawanan berandal yang dipimpinya, tak seorangpun membenarkan.
Suatu kali, kawanan begalnya gagal operasi. Mereka tunggang-langgang dikejar pengawal harta raja. Disinilah dia bertemu orang pertama yang meng-iyakan pendapatnya. Bapak enam (6) anak itu, Bangau Samparan namanya, bohong ke para prajurit. Temu dia sembunyikan.
Meski setalah itu tinggal dengan bapak pungutnya, tak selang lama, harus pergilah dia, Temu. Anak-anak Bangau Samparan, kecuali si Umang- gadis bontotnya Samparan, usir Temu dari rumah mereka. Tak sudi mereka serumah dengan maling. Begal ya begal– apapun disoal- ya tetap begal.
Rupanya, rumah kecil itu terpecah karena imajinasi tak serupa. Temu pergi.
Pada jengkal yang lebih luas, ada kesamaan antara Temu dengan Karl Marx- bukan dalam cara, melainkan imajinasi melawan arus. Waktu itu, Marx, dengan karibnya Angels, memulai proyek bersejarahnya, menuju masyarakat tanpa kelas. Meski harus diingat, cara pikir itu bukan pertama dimunculkan Marx, misal pendulunya seperti Robert Owen; Fourier, Saint Simon dll, pun juga pernah membayangkan tentang masyarakat tanpa kelas. Namun, seakan, ditangan Marx, semua itu terlempar melambung ke langit.
Dengan sangat cerdik Marx mengupas kulit-demi-kulit pola pikir yang ada waktu itu. Melalui telaah yang sangat telaten dan penuh kehati-hatian, bahkan, dia menepiskan cara-cara yang dipakai untuk membentuk sebuah tata sosial tanpa kelas yang ada, waktu itu. Semisal, dia memasukan karya-karya besar macam Thomas More (Utopia) kedalam keranjang sosialisme utopis, lalu menandingkan dengan analisa tentang sosialisme ilmiah miliknya.
Bedanya, masyarakat utopis diarahkan dengan imajinasi-imajinasi semu tentang hari nanti, hari pembalasan dan ceramah-ceramah digunakan sebagai alat utama untuk membentuk manusia menuju tata sosial tersebut. Namun, Marx memutus itu. Sosialisme ilmiah beranjak dari apa yang ada disekeliling manusia. Material adalah basisnya. Ada pola produksi, pertanian, teknologi, industri dan berbagai bentuk lainya. Orang diajak untuk mengenal logika. Kemudian dirunutkan dengan sejarah. Konstruksi yang ada direkonstruksi. Dimaknai dengan akal bersama. Sehingga kebenaran adalah milik semua.
Hasilnya sangat menakutkan. Masyarakat terbelakang, bisu-tuna politik dll, berubah menjadi monster yang siap mengutuk para pemburu rente waktu itu. Penganut kepercayaan lain, liberalisme, yang mengahalalkan kapitalisme utuh, langsung kebakaran jenggot. Bagi Marx, tak ada hal lain yang didapat dalam liberal-ortodok, selain kehidupan yang menciptakan situasi penindas dan yang ditindas.
Lanjut, kaum tertindas mengangkat palu dan arit mereka. Tidak sudi lagi mereka terjerembab dalam gelap pabrik-pabrik kumuh. Mereka keluar. Mengepalkan tangan. Jalan disesaki oleh para kaum dekil ini. Meneriaki yel-yel yang membuat pemilik modal kencing dicelana. Meninju angkasa, yang pada giliranya bogem itu diarahkan pada sang penindas.
Bahkan, geger telah dimulai pasca pernyataan organisasi mereka, Manifesto Komunis. Di akhir pernyataan mereka, komitmen abadi dibacakan seperti ini:
Kaum Komunis tidak sudi menyembunyikan pandangan-pandangan dan cita-citanya. Mereka menerangkan dengan terang-terangan bahwa cita-citanya dapat dicapai hanya dangan membongkar dengan kekerasan segala syarat sosial yang sedang berlaku. Biarkan kelas-kelas yang berkuasa gemetar menghadapi revolusi Komunis. Kaum proletar tidak akan kehilangan suatu apapun kecuali belenggu mereka. Mereka akan menguasai dunia.
Kaum buruh sedunia, bersatulah!
Lagi-lagi semesta pecah akibat imajinasi tak serupa!
Semestinya, memang harus diingat bersama bahwa laku sosial itu tak pernah seragam. Dalam batok kepala manusia ada berbagai pernak-pernik berjuta rupa. Namun dengan syarat tertentu, dengan alasan yang beragam, plural imajiner itu ada saatnya untuk mengkutub.
Ambil satu kasus begini, sekarang ini, sebagian rakayat Indonesia membayangkan terbentuknya sebuah situasi sosial tanpa korupsi. Bayangan dalam kepala satu dan lainya mulai menggumpal. Semangat didorong dengan logika sederhana ini;
1. Korpusi itu banyak dilakukan oleh para pejabat,
2. Pejabat embat uang rakyat,
3. Jatah rakyat tersendat,
4. Kesejahteraan melambat bahkan sekarang rakyat sekarat.
Imajinasi anti korupsi mensyaratkan situasi ini:
1. Koruptor musuh rakyat, dan harus diganjar sanksi berat,
2. Dengan sanksi berat, para koruptor akan kapok– orang yang akan berlaku korupsi takut,
3. Jika tak ada korupsi, uang rakyat mengalir tepat,
4. Selanjutnya, rakyat dapat sejahtera.
Logika pikir ini seolah terikat antara satu dengan lainya. Menggumpal. Tak terpisahkan.
Gumpalan imajinasi ini pernah diuji oleh aktor di tubuh Polri, Budi Gunawan (BG) dan kawananya. Mereka mencoba melepas sendi-sendi imajinasi rakyat tanpa korupsi. Waktu itu, BG sedang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Namun, dengan berbagai atraksi sirkus mereka, kawanan polisi tertentu mencoba melawan situasi yang ada. KPK diserang.
(Meski terburu-buru, baik, mari kita sepakati KPK adalah katalisator imajinasi itu.) Pada situasi ketika KPK diserang, rakyat berontak. Setidaknya, sebagain rakyat beranggapan bahwa kinerja KPK mengarah pada masyarakat tanpa korupsi. Misal, tangkapan besar bermunculan– tokoh partai sampai ke menteri pernah dibui-kan.
Kasus BG, menunjukan ada penentangan terhadap imajinasi itu.
Dari sinilah, imajinasi, dengan syarat dan kondisi tertentu mengarah pada penggumpalan, (yang seterusnya menjadi sebuah gerakan rakyat).
Untuk menelanjangi ini semua– diperlukan kejelian. Akan coba saya lakukan kedepanya. Akan saya coba melihatnya dengan Social Choice Theory [bersambung].