Sumber gambar: antaranews.com
Seolah, semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan perlindungan anak terkena serangan jantung. Tidak hanya pemerintah sebagai pihak pemangku kewajiban, namun, para aktivis organisasi non-pemerintah (ornop) pun juga. Hal itu desebabkan munculnya kasus yang menampar muka pelaksanaan ‘sistem perlindungan anak’ di Indonesia – seorang anak umur 5 tahun mendapat pelecehan seksual di sekolahnya. Sebuah sekolah (yang dianggap) ber-standar internasional.
Mengapa itu terjadi? Itulah yang ingin penulis uraikan dalam tulisan ini.
Penulis mengawali uraian ini dengan memberikan penghargaan yang tulus terhadap wajah baru upaya sistem perlindungan anak di Indonesia. Harus diakui bahwa langkah-langkah baru yang inovatif telah ditempuh, baik dari pihak pemerintah dan ornop.
Ditingkat nasional, pemerintah, melalui kementrian terkait seperti, Kementrian Sosial (mensos), Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PP dan PA) serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas) telah mengambil upaya-upaya yang penting. Mensos, misalnya, bekerjasama dengan beberapa ornop (lokal, nasional dan internasional) melakukan berbagai dukungan terhadap penguatan keluarga untuk mencegah anak masuk ke panti, perlindungan anak dalam situasi bencana, perlindungan hak anak yang berhadapan dengan hukum (pelaku, korban, saksi) dan banyak lainya.
Sementara itu, pihak PP dan PA juga tidak kalah inovatif. Kementrian ini telah membuat puluhan kebijakan terkait perlindungan anak. Termasuk perlindungan anak jalanan, pekerja anak, anak yang diperdagangkan, anak korban kekerasan dan lainya. Satu hal yang sangat meroket adalah gebrakan mereka dalam hal mewujudkan program kota layak anak. Sejak diluncurkan tahun 2011, melalui Permen PP dan PA No. 11 / 2011, di tahun 2014 ini, pemerintah telah menargetkan untuk mencapai 100 kota layak anak. Untuk mencapai kota yang bisa disebut ramah anak, masing-masing kota harus bisa memenuhi 31 indikator hak anak yang telah disetandarkan oleh PP dan PA. Penekananya adalah upaya pencegahan dari pelanggaran hak anak dan upaya penyembuhan jika ada anak yang menjadi korban, khususnya pada anak-anak rentan.
Tak main-main, Bapenas pun ikut ambil bagian dalam program raksasa ini. Melalui devisi perlindungan sosial dan kesejahteraan, Bapenas, dalam durasi tahun 2013 – 2016 menjalankan program berikut; (1) program keluarga harapan – untuk mendukung kepala keluarga dengan tunjangan bantuan tunai, (2) program kesejahteraan sosial anak – diarahkan untuk memberikan tabungan dan konseling bagi anak, (3) penghapusan pekerja anak perempuan – ditujukan untuk menarik anak-anak perempuan yang bekerja dan mengembalikan ke sekolah, dan (4) pelayanan, perlindungan dan rehabilitasi anak – sebagai pelindung bagi anak yang terlantar, penyandang difabel dan anak yang berhadapan dengan hukum.
Di pihak non-pemerintah, organisasi-organisasi yang bergerak pada pembelaan hak anak sangat menggeliat. Meski begitu, perlu diakui bahwa belum ada rujukan yang memadahi terkait jumlah organisasi non-pemerintah yang bekerja pada isu anak. Akan tetapi, organisasi-orgnisasi ini mempunyai karakter bekerja pada isu-isu anak dalam sekup kecil dan terbatas. Mereka juga kerap, dalam upaya memperbesar jangkauan, membentuk jaringan baik pada level lokal maupun nasional. Umumya, lembaga-lembagan non-pemerintah ini fokus pada anak-anak rentan, di mana keluarga mereka masih terkendala untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Selain itu, banyak juga bagian dari ornop ini mengisi kekosongan peran pemerintah di daerah-daerah terpencil.
Perlindungan Anak
Kalayak ramai, sekarang ini, telah akrab dengan istilah ‘perlindungan anak’. Syahdan, keakraban inilah yang, mungkin jadi, membuat pemaknaan perlindungan anak dipertanyakan. Dan barangkali, ini adalah konsekwensi dari ‘industri perlindungan anak’ seperti yang ditutur Robert Adler.
Penulis sengaja membawa pembaca yang budiman untuk merenung kembali istilah ini. Perlindungan Anak – Anne Lawrence mengklaim terbentuknya istilah ini dari Inggris, di mana situasi ini merupakan gejolak masyarakat dalam mempertanyakan parahnya pelecehan anak ditahun 60-70an. Sebagi hasilnya, muncul langkah-langkah dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka. Tidak hanya berhenti di sini, gerakan dalam memperjuangkan kesejahteraan anak ini semakin meluas. Dunia merespon dengan hangat.
Perjuangan dari tingkat bawah ini kemudian melahirkan kesepakatan global untuk membuat aturan legal dalam menjamin kesejahteraan anak. Tahapan ini kemudian membawa peluang pada pengakuan bahwa anak merupakan seorang individu utuh (manusia seutuhnya), maka itu, anak memiliki hak-hak layaknya manusia dewasa. Hingga pada tahun 1989, diakuilah Konvensi Hak Anak – sampai dengan sekarang, traktat ini beranggotakan 194 negara. Sebuah angka keanggotaan yang fatastis dan merupakan keanggotaan terbesar dalam sejarah kesepakatan dunia yang pernah ada.
Dalam rangka penerjemahan aturan ini, komunitas internasional telah membuat kesepakatan-kesepakatan, termasuk di antaranya upaya perlindungan anak. Sampai pada tahun 2008 lalu, Perserikatan Bangsa Bangsa melalui Unicef telah membuat sebuah strategy untuk mencapai tujuan perlindungan anak. Di sini, semangat ‘perlindungan anak’ adalah untuk ‘mencegah dan merespon kekerasan, exploitasi dan pelecehan untuk memastikan hak anak untuk hidup, perkembangan dan kesejahteraan anak’. Kunci utama perlindungan anak adalah harus dilakukan terhadap semua anak (tanpa diskriminasi) dan meningkatkan peran dan kemandirian anak-anak sebagai agen perubahan dalam diri mereka, lingkungan dan masadepan dunia.
Munculnya Defisit
Sekilas, jika kita membandingkan antara praktek dan teori perlindungan anak di atas, secara jeli dan kritis, akan kita temukan penyebab serangan jantung para pegiat perlindungan anak di Indonesia. Akan penulis uraikan ringkas sebagai berikut:
Adanya diskriminasi program perlindungan anak: gambaran teori perlindungan anak diatas jelas mengamanatkan bahwa kunci utama perlindungan anak harus diterapkan terhadap semua anak (tanpa diskriminasi). Sambil lalu, deskripsi program pemerintah dan ornop dalam perlindungan anak diatas lebih banyak diarahkan pada anak-anak rentan. Maksudnya adalah pada anak-anak yang keluarganya (dianggap) belum bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri, pekerja anak, anak yang diperdagangkan, anak yang berhadapan dengan hukum dan lainya. Namun, semua langkah-langkah yang diambil ternyata menelantarkan sekolah-sekolah dengan embel-embel istimewa. Dalam kasus pelecehan seksual anak di dalam sekolah yang bertaraf internasional, perlindungan anak luput dilaksanakan. Bahkan, dalam tataran administrasipun, pemerintah telah lalai. Belakangan, hal ini terbukti bahwa sekolah yang bersangkutan belum mengantongi izin operasional. Munkinkan situasi ini sepadan dengan pepatah ‘gajah dipelupuk mata tak tampak, kuman diseberang lautan tampak’?
Lemahnya peran anak dalam perlindungan anak: seringkali, dalam program-program raksasa, perlindungan anak ini hanyalah menjadi milik kaum dewasa. Dengan semangat teknokrasi, mereka selalu menganggap bahwa perlindungan anak perlu dikembangkan sedemikian rupa, dengan bahasa-bahasa yang sukar, sistem yang rumit, pola kolaborasi berbelit dan sebagainya. Semakit rumit dianggap celah terjadinya pelecehan anak semakin sempit. Anggapan penulis, tidak ada yang lebih sepadan menyebut situasi ini sebagai program yang naif. Maksud hati mungkin baik, tapi akhirnya tak lebih dari guyonan belaka. Program-program semacam ini taklain adalah membendakan anak-anak itu sendiri. Padahal, adalah tidak mungkin melakukan perlindungan dengan hanya menempel aturan-aturan atau sistem perlindungan di tembok-tembok sekolah, halte maupun gang-gang perkotaan. Sekali lagi, praktek perlindungan anak di Indonesia melupakan semangat pelibatan peran anak dalam melindungi diri mereka, perubahan lingkungan dan masadepan.
Konsekuensi Logis atas Defisit
Akan sangat mengerikan jika pelaksanaan perlindungan anak dilanjutkan tanpa menambal defisit yang terjadi. Sangat mungkin hal ini akan mengarah pada arogansi pelaku perlindungan itu sendiri. Mereka terus saja kampanya tentang perlindungan anak, seolah pahlawan, sementara di sisi lain, mereka tidak menyadari bahwa mereka berada dalam arus yang berbeda. Mereka akan menempuh jalur diskriminasi, pada hal itu bertentangan dengan khitah perlindungan anak itu sendiri. Selain itu, upaya perlindungan anak tanpa melibatkan anak itu sendiri adalah sebuah langkah yang benar-benar tak ada hasilnya. Yang akan terjadi hanyalah mengkerdilkan anak dihadapan para pembela hak-hak anak. Anak-anak akan tetap lemah. Sebangun dengan itu, sadar atau tidak, para pembela hak-hak anak memiliki keterbatasan. Padahal, ancaman terhadap pelecehan dan kekerasan anak semakin sistematis dan mutakhir. Akan jadi apa anak-anak kita selanjutnya[].
Bagus Yaugo Wicaksono
07 Mei 2014