Banyak Cara menuju Pidana,
Kasus Syehk Puji, Pertaruhan Nama Baik Bangsa!
By Bagus Wicaksono
Indonesia sedang berjuang untuk memajukan perlindungan anak. Hal tersebut secara gamblang dinyatakan oleh Delegasi Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa yang ditujukan ke President of General Assembly. Dalam kesempatan tersebut Delegasi Indonesia menyatakan Pernyataan dan Janji-janji secara sukarela (Voluntary Pledges and Commitments[1]) untuk meningkatkan dan melindungi hak asasi manusia.
Pernyataan dan janji-janji secara sukarela tersebut meliputi dua tingkatan, yaitu tingkat Internasional dan tingkat nasional. Beberapa pernyataan di tingkat nasional yaitu akan melanjutkan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004 – 2009 terdiri atas 146 strategi-strategi hak asasi manusia sehingga memerlukan; a. ratifikasi instrument-instrument internasional, b. harmonisasi norma-norma internasional kedalam hukum nasional, c. pelaksanaan setandar-setandar dan norma-norma, e. penguatan kerangka kerja institusional, f. pemantauan, evaluasi dan pelaporan situasi hak asasi manusia.
Khususnya dalam perlindungan hak anak, pemerintah Indonesia juga akan memelihara dukungan nasional, regional dan internasional untuk proses dalam perlindungan dan peningkatan hak-hak perempuan dan hak-hak anak, utamanya dalam upaya-upaya menghilangkan diskriminasi dan menentang kekerasan terhadap perempuan serta memerangi perdagangan manusia di tingkat nasional, regional dan internasional.
Pernyataan dan janji-janji secara sukarela dari Pemerintah Indonesia dihadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa sedunia tersebut kemudian akan kita buktikan dalam realitas yang terjadi di Negara kita.
Dalam situasi sekarang ini, kasus Syehk Puji (Pujiono Cahyono Widiyanto) sedang menjadi pertaruhan atas salah satu pernyataan dan janji-janji diatas.
Perkawinan adalah hak asasi manusia, tetapi dalam hak asasi manusia berlaku norma limitasi dan restriksi. Dalam situasi umum, Pujiono Cahyono Widiyanto mempunyai hak atas pekawinan dan haknya dijamin secara mutlak oleh hukum HAM internasional yang juga wajib diikuti oleh hukum nasional. Tetapi pada situasi-situasi tertentu Pujiono Cahyono Widiyanto tidak bisa menggunakan haknya tersebut. Situasi tertentu dalam hal ini wajib diatur dalam undang-undang baik internasional maupun nasional.
Dalam ketentuan internasional mengenai perkawinan, laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa tanpa pembatasan atas ras, kewarganegaraan dan agama berhak atas perkawinan dan membentuk keluarga. Perkawinan akan disyah kan hanya dengan free and full consent. Dalam kasus ini, seorang anak tidak berhak untuk menikah karena telah diakui dalam konvensi hak anak bahwa “Seorang anak karena alasan-alasan ketidak matangan baik fisik dan mentalnya, membutuhkan pengasuhan/perlindungan dan perawatan khusus, termasuk perlindugan hukum yang sesuai, sebelum dan juga setelah dilahirkan”. Dalam hal ini jelas menegaskan bahwa anak dibatasi haknya atas perkawinan, dan siapapun yang akan dan telah melakukannya akan dianggap tidak syah demi hukum. Setiap Negara yang telah meratifikasi konvensi hak anak harus menerapkannya kedalam hukum nasional.
Indonesia sudah meratifikasi konvensi hak anak dengan keputusan presiden no.36/1990. berikut adalah jaminan perkawinan dan perlindungan hak anak yang ada di Indonesia.
Di Indonesia telah disyahkan uu no.1/1974 tentang perkawinan. Dalam undang-undang tersebut menegaskan usia minimum yang diizinkan melakukan perkawinan. Pada saat undang-undang ini dibuat, Indonesia belum meratifikasi konvensi hak anak, artinya pada waktu itu belum ada standar batasan umur usia anak yang diakui nasional dan internasional. Undang-unang ini sudah merupakan sebuah penggagas akan ketidak syahnya perkawinan bagi seseorang yang berusia di bawah ketentuan tersebut. Minimal undang-undag ini dibuat sebagai pedoman dan dasar untuk pemenuhan atas perlindungan dan peningkatan hak anak berkaitan dengan perkawinan di usia dini. Dengan berdasarkan undang-undang perkawinan, sebuah perkawinan yang bertentangan dengan pasal 7 (1) harus dinyatakan tidak syah demi hukum dan jika sudah terjadi maka perkawinannya batal demi hukum.
Jaminan lain terhadap perlindungan anak di Indonesia juga telah disyahkan melalui uu no. 23/2002 tentang perlindungan anak. Dalam uu ini telah spesifik mengatur mengenai perlindungan anak atas hak-haknya. Dalam undang-undang ini menyeragamkan mengenai kerancuan definisi anak. Yang dimaksud anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun termasuk di dalam kandungan[2]. Hal itu seharusnya menjadi rujukan pula atas uu perkawinan, sehingga menjadi pertimbangan seorang pengurus administrasi pencatatan sipil dalam urusan perkawinan.
Dalam bagian ke empat uu perlindungan anak pasal 26 mengatur tentang kewajiban dan tanggungjawab keluarga dan orangtua. Dalam pasal ini keluarga dan orangtua diwajibkan dan bertanggungjawab untuk; a. mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak, b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya, dan yang terakhir paling erat kaitannya dengan tema ini yaitu c. mencegah usia perkwinan pada usia anak-anak.
Perkawinan usia anak-anak/remaja meningkatkan risiko kematian ibu sebesar 2-4 kali, dibandingkan dengan wanita berusia diatas 20 tahun atau lebih. Kata Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes, Prof. Dr. Azrul Azwar[3]. Depresi berat atau neoritis depresi akibat pernikahan dini ini, bisa terjadi pada kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi introvert (tertutup) akan membuat si remaja menarik diri dari pergaulan. Dia menjadi pendiam, tidak mau bergaul, bahkan menjadi seorang yang schizoprenia atau dalam bahasa awam yang dikenal orang adalah gila. Sedang depresi berat pada pribadi ekstrovert (terbuka) sejak kecil, si remaja terdorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan amarahnya. Seperti, perang piring, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain, secara psikologis kedua bentuk depresi sama-sama berbahaya[4].
Dari beberapa sumber diatas mengenai dampak pernikahan dini, dapat menegaskan bahwa tindakan memberi izin dalam perkawinan pada usia anak merupakan bentuk perlakuan salah. Dalam pasal 13 (1) uu perlindungan anak setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi, b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, c. penelantaran, d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, e. ketidakadilan dan f. perlakuan salah lainnya.
Kalau kita menghubungkan dengan pasal 26 (c) uu perlindungan anak bahwa keluarga dan orangtua diwajibkan untuk mencegah usia perkawinan pada usia anak-anak, maka jika hal ini dilakukan sudah sangat jelas keluarga dan orangtua tersebut melanggar uu perlindungan anak dalam pasal ini.
Labih lanjut, uu perlindungan anak juga menjamin bahwa seorang anak harus dilindungi dari perlakuan yang bisa merugikan perkembangan fisik dan mentalnya (merujuk pasal 13 (1) uu perlindungan anak). Jaminan ini ditegaskan ulang pada bagian ke lima yang mengatur tentang perlindungan khusus.
Perlindungan khusus pasal 59 uu perlindungan anak mengatur supaya pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Tetapi sayangnya untuk kasus kejahatan pada anak yang mendapat pelakuan salah tidak ditingkatkan ke tindak kejahatan pidana secara gamblang. Jadi sangat susah mempidanakan permasalahan ini. Hal tersebut bukan berarti bebas dari pemidanaan. Dibawah ini uraian kemungkinan pemidanaan pada kasus pernikahan dini yang dilakukan Pujiono Cahyono Widiyanto
Kemungkinan Pemidanaan
- I. Terkait dengan adanya dugaan tindakan Persetubuhan
Berhubungan badan dengan seseorang yang sudah syah menjadi pasangan/istri merupakan perbuatan yang tidak melanggar hukum (baik agama maupun positif). Pujiono Cahyono Widiyanto (43) telah mengawini seorang anak (12 th). Mungkin ada anggapan bahwa perkawinan mereka syah karena sudah melalui Kantor Urusan Agama (KUA) dan Catatan Sipil. Pada saat itu juga memungkinkan muncul anggapan jika Pujiono Cahyono Widiyanto melakukan hubungan badan terhadap isterinya[5].
Tetapi secara tegas diatur dalam perundang-undangan bahwa itu merupakan tindakan kejahatan pidana. Beberapa undang-undang di Indonesia mengatur tentang itu, diantaranya adalah KUHP pasal 290, uu perlindungan anak pasal 81-82. Jelas disana diatur bahwa tindakan itu bisa dipidanakan. Tetapi perlu kita ingat bahwa pemidanaannya juga harus dilakukan dengan membuktikan unsur-unsur yang ada di dalamnya.
Untuk masalah ini sampai sekarang sedang diproses dan masih berjalan (dengan banyak hambatan).
- II. Terkait dengan adanya dugaan adanya Penjualan
Mengenai kasus Pujiono Cahyono Widiyanto yang mengawini seorang yang berusia anak tetap merupakan suatu kejahatan besar dalam perundang-undangan kita. Meskipun pembatasan di dalam uu perkawinan tidak ditingkatkan menjadi kasus kejahatan pidana, tetapi menurut norma hukum bahwa hukum saling terkait satu sama lain, maka perbuatan tersebut sangat mungkin untuk diganjar dengan vonis pidana.
Kalau kita cermati ulang kasus ini, bahwa kronologinya berawal dari orangtua yang menyerahkan anaknya untuk dikawini oleh orang lain (terlepas si anak setuju atau tidak) dan kemudian orangtua tersebut mendapatkan keuntungan baik materiil/imateriil, maka sudah secara pasti orangtua anak bisa dikatakan telah melakukan penjualan anak. Penjualan anak berarti segala tindakan atau transaksi dimana seorang anak dipindahkan oleh seseorang atau kelompok ke seseorang atau kelompok lainnya untuk tujuan mendapatkan keuntungan atau pertimbangan lainnya[6].
Dalam hal ini, terlebih dahulu harus membuktikan bahwa anak (isteri Pujiono) telah menjadi korban penjualan sesuai pasal pidana yang dijamin oleh uu perlindungan anak pasal 83. Untuk membuktikan pasal tersebut, unsur-unsurnya bisa merujuk pada optional protokol convention right of the child. Dimana unsur-unsur pidananya meliputi, tindakan memidahkan seorang anak dari seseorang atau kelompok ke seseorang atau kelompok lain dan untuk mendapatkan keuntungan atau dengan pertimbangan lainya.
Setelah hal itu terbukti oleh putusan pengadilan, maka giliran mempidanakan orang yang terlibat didalam penjualan tersebut, termasuk diantaranya Pujiono Cahyono Widiyanto. Pemidanaan bagi orang yang terlibat dalam kasus penjualan anak memang tidak di tegaskan dalam uu perlindungan anak, tetapi kasus ini bisa dikenakan dengan KUHP Buku I Bab V Penyertaan dalam Tindak Pidana. Dalam Pasal 55 (1) akan mempidanakan sebagai pelaku tindak pidana bagi:
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan,
2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana
atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan
perbuatan.
Sedangkan Pasal 55 (2) menegaskan terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pada Pasal 56 mengatur akan memidanakan seseorang sebagai pembantu kejahatan jika:
1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan,
2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau ke- terangan untuk melakukan kejahatan.
- III. Terkait dengan adanya dugaan Percobaan Tindak pidana
Mengawini seseorang yang masih berusia anak merupakan suatu tindak kejahatan. Permasalahan itu jelas diatur dalam undang-undang perkawinan (dengan kriteria umur tertentu) dan uu perlindungan anak pasal 26 (c). Meskipun dalam undang-undang di Indonesia tidak ada yang secara gamblang mengatur untuk memidanakan permasalahan tersebut, tetapi dalam norma hukum itu suatu kejahatan yang bisa dikaitkan dengan kasus pidana mutlak.
Perkawinan yang dilakukan pada usia anak-anak dapat merugikan perkembangan fisik dan mental seorang anak (diatas sudah saya uraikan). Meskipun kasus Pujiono Cahyono Widiyanto pada saat mengawini (ini sudah pelanggaran) sampai sekarang belum terjadi hal-hal mengenai resiko pernikahan usia anak[7], tetapi sesuai dengan pernyataan para pakar yang saya kutip diatas, perkawinan ini akan berakibat buruk pada isteri (pasangan pengantin perempuan). Tentu saja kejadian yang mengarah ke sana harus dicegah.
Berdasarkan analisis diatas, perbuatan Pujiono Cahyono Widiyanto sampai sekarang ini bisa dikategorikan sebuah perbuatan percobaan melakukan kejahatan pidana. Seperti yang diatur dalam KUHP Buku I Bab IV pasal 53;
1. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan
dikurangi sepertiga.
3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Merujuk ayat 1 diatas, bahwa tindakan Pujiono Cahyono Widiyanto dengan mengawini seorang yang berusia anak maka akan mengarah pada kerusakan/terhambatnya perkembangan fisik dan mental anak. Maka dari itu, meskipun belum terjadi hal-hal yang tidak diingnkan tersebut, maka kemudian hampir seluruh masyarakat mengecam perbuatannya tersebut.
Dalam hal ini, Pujiono Cahyono Widiyanto telah melakukan tindakan permulaan kejahatan dengan mengawini seorang yang berusia anak, dan jika pelaksanaan untuk mengakibatkan rusaknya/terhambatnya fisik dan mental anak akibat perbuatannya belum terlaksana, hal itu disebabkan semata-mata bukan kehendaknya sendiri, tetapi malinkan tekanan dan ketidak sepakatan masyarakat dengan berdasar keadilan dalam undang-undang. Dengan alasan ini Pujiono Cahyono Widiyanto bisa dikatan sebagai pelaku percobaan tindak pidana dan harus diberikan hukuman yang sesuai seperti tertera dalam pasal ini.
Kasus Pujiono Cahyono Widiyanto ini sebenarnya bisa digunakan sebagai salah satu tolak ukur atas perlindungan anak di Indonesia. Permasalahan ini menyuguhkan seberapa jauh uu perlindungan anak di Indonesia mampu melindungi anak.
Sampai saat ini, kita telah mengetahui untuk mempidanakan seorang yang benar-benar telah melanggar hak anak masih mengalami banyak kendala. Dengan hal ini akan memberi kesimpulan mutlak bahwa uu perlindungan anak no. 23/2002 masih belum mampu melindungi dan meningkatkan hak asasi manusia khususnya hak anak di Indonesia.
Kembali pada pernyataan dan janji-janji secara suka rela yang diucapkan delegasi Indonesia untuk Persatuan Bangsa-bangsa, hendaknya pernyataan dan janji-janji sukarela untuk melindungi dan meningkatkan hak asasi manusia tersebut dipegang dan benar-benar dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia.
Rakyat Indonesia sudah lelah dengan pernyataan dan janji-janji pemerintah Republik Indonesia yang hapir selalu buram.
[1] Terjemahan penulis, United Nations A/61/855, Annex to the note verbale from the Permanent Mission of Indonesia to the United Nations addressed to the President of the General Assembly Voluntary pledges and commitments New York, 8 March 2007
[2] Uu no. 23/2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1 (1)
[3] http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=856&Itemid=2
[4] http://ceria.bkkbn.go.id/referensi/substansi/detail/155, Edi Nur Hasmi, psikolog yang juga Direktur Remaja dan Kesehatan Reproduksi BKKBN
[5] Anggapan penulis berdasarkan budaya yang ada di Indonesia mengenai pasangan suami isteri yang syah
[6] Terjehaman penulis, OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY, article 2 (a)
[7] Setidaknya sampai tulisan ini dibuat, penulis belum mengetahui berita buruk dari pasangan tersebut
Karen! I think this article is very great! I hope you can write more and more….
LikeLike
thanks la 🙂
LikeLike